Saat tulisan ini saya buat, isu Ujian Nasional (alias Unas, alias UN) kembali menghangat dibicarakan. Apalagi setelah kebijakan baru Mendiknas M. Nuh yang tidak mau "mengutak-utik" hasil nilai UN. Tersirat dari pernyataan ini bahwa di rezim sebelumnya nilai hasil UN "diutak-utik", wallahualam... Faktanya adalah nilai UN tahun 2010 turun cukup jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai pribadi yang terlibat langsung dalam proses pendidikan termasuk UN, saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Press release atau pernyataan-pernyataan pejabat betul-betul dibuat hanya untuk konsumsi "menenangkan" publik, tidak menyentuh hal-hal dasar. Berikut ada tulisan menarik dari perspektif berbeda mengenai UN yang saya ambil dari milis Klub Guru Indonesia.
Semua Murid Lulus Ujian Nasional? Kenapa Menjadi Bahagia?
Assalamu'alaikum wr.wb.,
Di milis Klub Guru, ada seorang guru yang bersyukur bahwa semua murid di dalam sekolahnya telah lulus dari Ujian Nasional. Ini komentar saya. Semoga bermanfaat. - Gene
********
Seharusnya kita semua merasa sedih kalau 100% dari murid kita lulus Ujian Nasional!
Hasil itu menunjukkan bahwa 100% dari murid kita telah berhasil untuk nurut dengan guru, nurut dengan pemerintah, nurut dengan jawaban yang “benar”, tidak berani berfikir “di luar kotak”, tidak independen, tidak bisa kreatif dan tidak bersedia berbeda pendapat.
Itu hasil yang sebenarnya dari Ujian Nasional.
Saya ingat waktu belajar menjadi guru di Australia, salah satu dari pelajarannya adalah bagaimana caranya membuat ujian. Dan di dalam ujian itu, boleh saja ada bagian “pilihan ganda”. Tetapi jumlah pertanyaan minimal sekali, misalnya hanya 10-20 pertanyaan, dan nilainya mungkin cuma 10-20% dari total.
Kenapa masih dikasih bagian pilihan ganda? Karena itu bagian untuk anak yang tidak begitu pintar, untuk memastikan bahwa mereka tetap akan dapat nilai dasar. Diharapkan bahwa semua siswa, termasuk yang paling rendah, bisa melihat jawaban yang benar kalau ada di depan mata (karena tidak perlu berfikir terlalu dalam atau secara independen), dan bisa memilihnya walaupun secara umum mereka tidak begitu pintar.
Pertanyaan2 itu merupakan pertanyaan yang paling gampang di dalam ujian, dan tidak pernah ada lebih dari 4 jawaban (ABCD). Juga dijamin bahwa 2 jawaban kelihatan salah sekali (tidak mungkin benar), satu jawaban yang mirip dengan yang benar, dan hanya satu yang benar. (Saya ingat sekali ketika murid saya di Jakarta menunjukkan suatu ujian sekolahnya. Ada 5 jawaban, ABCDE, semuanya salah secara tata bahasa, dan pertanyaannya juga salah. Si guru bersikeras bahwa jawaban B adalah benar, murid saya lebih lancar dari gurunya, dan kena masalah karena jadi ribut dengan gurunya. Sebenarnya, tidak ada jawaban yang benar, dan pertanyaan juga tidak benar! Seharusnya tidak boleh begitu, apalagi gurunya ngotot dan marah setelah terbukti bersalah!).
Bagian pilihan ganda di dalam ujian diberikan supaya lebih mudah bagi siswa untuk dapat jawaban yang benar. Dan sebenarnya, itu hanya sebuah trik psikologis karena bagian itu, yang selalu merupakan bagian pertama, memberikan perasaan “bisa berhasil” kepada siswa, sebelum mereka menghadapi pertanyaan2 yang lebih sulit di bagian2 yang lain. Tujuannya agar murid semangat dan tidak langsung putus asa kalau seandainya melihat pertanyaan2 awal yang sangat sulit (jadi pertanyaan awal itu yang pilihan ganda selalu dibuat lebih mudah dari yang lain).
Sisa dari ujian menggunakan berbagai macam cara untuk menentukan kemampuan siswa, dan lebih tekankan kesempatan untuk jawab secara bebas (untuk semua mata pelajaran).
Ada bagian isi kalimat. Ada bagian menjawab pertanyaan (secara bebas) dengan satu-dua kata. Ada bagian menunjukkan apa yang benar dan salah dan jelaskan kenapa. Ada bagian menulis kalimat (penjelasan sendiri). Dan ada yang lebih panjang, seperti paragraf. Untuk sains, ada eksperimen yang harus dijalankan di dalam kelas, kemudian harus menulis proses dan hasil yang terjadi secara lengkap dengan analisis terhadapnya, dan sebagainya. Walaupun mungkin hasilnya salah, nilainya bisa tinggi kalau dia menjelaskan prosesnya secara benar, dan memberikan analisis yang jelaskan kenapa hasilnya tidak sesuai harapan. (Berarti dia sudah paham prosesnya secara benar. Dapat hasil yang benar adalah persoalan yang berbeda.)
Khusus untuk matematika, dikasih halaman kosong di dalam kertas ujian dan disuruh mengerjakan rumusan di situ, sehinga memeriksa rumusan yang dipakai menjadi bagian standar dari memeriksa ujian tersebut oleh guru. Guru mau lihat bagaimana murid mencapai hasil itu.
Kalau dalam satu rumusan matematika, ada 10 tahap yang harus ditulis, dan murid menulis 9 tahap secara benar, tetapi pada bagian ke-10 dia melakukan kesalahan, maka dalam ujian pilihan ganda (seperti yang umum di sini), jawaban menjadi salah dan nilainya nol.
Tetapi di sana, ditekankan kepada kami bahwa 9 tahap yang benar itu harus dihargai, dan dikasih nilai. Jadi, kalau untuk satu jawaban yang punya 10 tahap, dan 9 benar, dan nilai totalnya adalah 5 poin, maka murid itu bisa dapat hasil 4,0 – 4,5 poin, karena sebenarnya, mayoritas dari jawaban itu adalah benar.
Kenyataan bahwa hasil salah merupakan persoalan kecil, karena fungsi kita sebagai guru adalah untuk mengajarkan PROSES yang benar, sehingga akhirnya murid bisa kerjakan sendiri, dan dapat jawaban yang benar, tanpa perlu bantuan dari siapapun. Jadi, kalau 9 dari 10 tahap (dalam rumusan matematika) adalah benar, maka itu membuktikan bahwa peran kita sebagai guru sudah hampir berhasil, dan tinggal memberikan tambahan pelajaran sedikit kepada siswa itu, sehingga dia bisa melihat kesalahannya di mana, dan bisa belajar lagi untuk memperbaikinya.
Selanjutnya, kami hampir selalu kembalikan ujian itu kepada murid, supaya mereka bisa melihat sendiri masalahnya ada di mana. Dan semua kesalahan tidak langsung “diperbaiki” oleh guru, tetapi sebatas diberi tanda (seperti garis di bawah bagian yang salah, atau lingkaran). Dengan diskusi di dalam kelas, murid itu bisa melihat bagian mana yang salah, dan dia dipersilahkan untuk berfikir lagi tentang apa yang salah dan boleh diskusi sama teman sekelas.
Sebagai guru, sangat enak melihat muka murid ketika dia menjadi sadar sendiri masalahnya ada di mana. Ada ekspresi muka: “Ohhh, itu yang salah! Oke, paham, paham!” Jadi, dia hanya butuh guru untuk kasih tahu bagian mana yang salah, dan setelah itu, dia bisa berfikir sendiri (atau diskusi di dalam kelas) dan bisa tahu sendiri kenapa jawabannya adalah salah. Dan sesudah itu, kita perlu mencatat bahwa murid itu selalu salah di bagian tersebut, dan memberikan perhatian lebih kepadanya supaya dia bisa mendapatkan jawaban yang baik, benar dan lengkap pada ujian berikut.
Tetapi kalau di sini, belum tentu semua guru mau melakukan hal semacam itu. Di Australia, itu cara yang standar untuk memberikan ujian kepada siswa, dari SD sampai SMA. Dan diajarkan di dalam universitas biar semua guru menggunakan metode2 tersebut. Lebih baik murid dibimbing untuk berfikir tentang prosesnya, dan mencari kesalahannya sendiri, daripada sebatas diberitahu apa yang salah oleh guru (dan dapat nilai nol, padahal mungkin 90% dari jawabannya sudah benar). Bukannya murid bisa frustrasi kalau sudah benar 90% tetapi dapat nilai nol dari gurunya? Dan kalau dia frustrasi terus, seharusnya kita tidak heran kalau dia mau nyontek, karena semua usaha dia tidak dihargai, hanya jawaban yang benar yang dihargai = lebih baik nyontek karena memahami proses sepertinya tidak penting!
Jadi, kalau 100% dari siswa kita lulus dari Ujian Nasional, berarti kita telah berhasil untuk membunuh kreativitas mereka, telah mengajarkan mereka untuk berfikir sesuai dengan guru dan pemerintah, untuk selalu nurut dengan jawaban yang “benar”, dan tidak berbeda pendapat (walaupun mereka sanggup menciptakan argumentasi dan memberikan bukti2 untuk mendukung argumentasi tersebut).
Kenapa tidak ada anak Indonesia yang bisa berfikir secara independen dan kreatif untuk menyelesaikan masalah2 yang kita hadapi, dan setelah dewasa, hanya mau korupsi terus supaya cepat kaya? Jawabanya sederhana: karena dengan lulus dari Ujian Nasional, dan sekian banyak ujain sekolah yang juga mirip, mereka telah diajarkan bahwa selalu ada orang lain yang memiliki jawaban yang benar, dan kalau mau sukses, kita cukup mencari apa jawaban yang benar itu, dan nurut dengannya, dan tidak perlu berfikir lagi sesudah itu.
Dapat jawaban yang benar (dengan cara apa saja), itu yang penting. Berfikir sendiri tidak penting. Berfikir secara kreatif dengan menciptakan ide baru tidak penting. Memahami proses tidak penting. Itulah hasil dari sistem pendidikan kita, dan Ujian Nasional kita.
Seharusnya kita semua sedih kalau 100% persen dari murid kita lulus dari Ujian Nasional. Karena itu berarti kita telah berhasil 100% untuk membunuh kreativitas mereka dan berhasil menciptakan satu generasi lagi yang akan selalu berfikir “di dalam kotak” terus.
Ada orang di dunia ini yang menemukan atau menciptakan listrik, lampu, mobil, kereta api, pesawat, telfon, satelit, komputer, internet, tenaga nuklir, telfon dan handphone, DNA, bakteri, antibiotik, mesin cetak untuk mencetak buku, dan seterusnya.
Yang sama di antara mereka ada satu hal: tidak ada SATUPUN dari mereka yang lulus dari sistem pendidikan nasional Indonesia dan menjadi orang sukses yang berhasil mengubah atau memperbaiki dunia kita. Alangkah baiknya ada orang Indonesia yang berhasil masuk daftar tersebut, sebagai orang yang mengubah dunia bagi seluruh ummat manusia. Tetapi selama kita masih berpegang pada sisitem pendidikan yang ada, dengan Ujian Nasional yang ada sekarang, saya yakin sekali Indonesia tidak akan bisa menghasilkan orang tersebut.
Seharusnya kita sedih kalau 100% dari murid kita berhasil dipagari, dan otak mereka dibelenggu secara terpaksa oleh Ujian Nasional, ujian sekolah, dan sistem pendidikan kita.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Semua Murid Lulus Ujian Nasional? Kenapa Menjadi Bahagia?
Assalamu'alaikum wr.wb.,
Di milis Klub Guru, ada seorang guru yang bersyukur bahwa semua murid di dalam sekolahnya telah lulus dari Ujian Nasional. Ini komentar saya. Semoga bermanfaat. - Gene
********
Seharusnya kita semua merasa sedih kalau 100% dari murid kita lulus Ujian Nasional!
Hasil itu menunjukkan bahwa 100% dari murid kita telah berhasil untuk nurut dengan guru, nurut dengan pemerintah, nurut dengan jawaban yang “benar”, tidak berani berfikir “di luar kotak”, tidak independen, tidak bisa kreatif dan tidak bersedia berbeda pendapat.
Itu hasil yang sebenarnya dari Ujian Nasional.
Saya ingat waktu belajar menjadi guru di Australia, salah satu dari pelajarannya adalah bagaimana caranya membuat ujian. Dan di dalam ujian itu, boleh saja ada bagian “pilihan ganda”. Tetapi jumlah pertanyaan minimal sekali, misalnya hanya 10-20 pertanyaan, dan nilainya mungkin cuma 10-20% dari total.
Kenapa masih dikasih bagian pilihan ganda? Karena itu bagian untuk anak yang tidak begitu pintar, untuk memastikan bahwa mereka tetap akan dapat nilai dasar. Diharapkan bahwa semua siswa, termasuk yang paling rendah, bisa melihat jawaban yang benar kalau ada di depan mata (karena tidak perlu berfikir terlalu dalam atau secara independen), dan bisa memilihnya walaupun secara umum mereka tidak begitu pintar.
Pertanyaan2 itu merupakan pertanyaan yang paling gampang di dalam ujian, dan tidak pernah ada lebih dari 4 jawaban (ABCD). Juga dijamin bahwa 2 jawaban kelihatan salah sekali (tidak mungkin benar), satu jawaban yang mirip dengan yang benar, dan hanya satu yang benar. (Saya ingat sekali ketika murid saya di Jakarta menunjukkan suatu ujian sekolahnya. Ada 5 jawaban, ABCDE, semuanya salah secara tata bahasa, dan pertanyaannya juga salah. Si guru bersikeras bahwa jawaban B adalah benar, murid saya lebih lancar dari gurunya, dan kena masalah karena jadi ribut dengan gurunya. Sebenarnya, tidak ada jawaban yang benar, dan pertanyaan juga tidak benar! Seharusnya tidak boleh begitu, apalagi gurunya ngotot dan marah setelah terbukti bersalah!).
Bagian pilihan ganda di dalam ujian diberikan supaya lebih mudah bagi siswa untuk dapat jawaban yang benar. Dan sebenarnya, itu hanya sebuah trik psikologis karena bagian itu, yang selalu merupakan bagian pertama, memberikan perasaan “bisa berhasil” kepada siswa, sebelum mereka menghadapi pertanyaan2 yang lebih sulit di bagian2 yang lain. Tujuannya agar murid semangat dan tidak langsung putus asa kalau seandainya melihat pertanyaan2 awal yang sangat sulit (jadi pertanyaan awal itu yang pilihan ganda selalu dibuat lebih mudah dari yang lain).
Sisa dari ujian menggunakan berbagai macam cara untuk menentukan kemampuan siswa, dan lebih tekankan kesempatan untuk jawab secara bebas (untuk semua mata pelajaran).
Ada bagian isi kalimat. Ada bagian menjawab pertanyaan (secara bebas) dengan satu-dua kata. Ada bagian menunjukkan apa yang benar dan salah dan jelaskan kenapa. Ada bagian menulis kalimat (penjelasan sendiri). Dan ada yang lebih panjang, seperti paragraf. Untuk sains, ada eksperimen yang harus dijalankan di dalam kelas, kemudian harus menulis proses dan hasil yang terjadi secara lengkap dengan analisis terhadapnya, dan sebagainya. Walaupun mungkin hasilnya salah, nilainya bisa tinggi kalau dia menjelaskan prosesnya secara benar, dan memberikan analisis yang jelaskan kenapa hasilnya tidak sesuai harapan. (Berarti dia sudah paham prosesnya secara benar. Dapat hasil yang benar adalah persoalan yang berbeda.)
Khusus untuk matematika, dikasih halaman kosong di dalam kertas ujian dan disuruh mengerjakan rumusan di situ, sehinga memeriksa rumusan yang dipakai menjadi bagian standar dari memeriksa ujian tersebut oleh guru. Guru mau lihat bagaimana murid mencapai hasil itu.
Kalau dalam satu rumusan matematika, ada 10 tahap yang harus ditulis, dan murid menulis 9 tahap secara benar, tetapi pada bagian ke-10 dia melakukan kesalahan, maka dalam ujian pilihan ganda (seperti yang umum di sini), jawaban menjadi salah dan nilainya nol.
Tetapi di sana, ditekankan kepada kami bahwa 9 tahap yang benar itu harus dihargai, dan dikasih nilai. Jadi, kalau untuk satu jawaban yang punya 10 tahap, dan 9 benar, dan nilai totalnya adalah 5 poin, maka murid itu bisa dapat hasil 4,0 – 4,5 poin, karena sebenarnya, mayoritas dari jawaban itu adalah benar.
Kenyataan bahwa hasil salah merupakan persoalan kecil, karena fungsi kita sebagai guru adalah untuk mengajarkan PROSES yang benar, sehingga akhirnya murid bisa kerjakan sendiri, dan dapat jawaban yang benar, tanpa perlu bantuan dari siapapun. Jadi, kalau 9 dari 10 tahap (dalam rumusan matematika) adalah benar, maka itu membuktikan bahwa peran kita sebagai guru sudah hampir berhasil, dan tinggal memberikan tambahan pelajaran sedikit kepada siswa itu, sehingga dia bisa melihat kesalahannya di mana, dan bisa belajar lagi untuk memperbaikinya.
Selanjutnya, kami hampir selalu kembalikan ujian itu kepada murid, supaya mereka bisa melihat sendiri masalahnya ada di mana. Dan semua kesalahan tidak langsung “diperbaiki” oleh guru, tetapi sebatas diberi tanda (seperti garis di bawah bagian yang salah, atau lingkaran). Dengan diskusi di dalam kelas, murid itu bisa melihat bagian mana yang salah, dan dia dipersilahkan untuk berfikir lagi tentang apa yang salah dan boleh diskusi sama teman sekelas.
Sebagai guru, sangat enak melihat muka murid ketika dia menjadi sadar sendiri masalahnya ada di mana. Ada ekspresi muka: “Ohhh, itu yang salah! Oke, paham, paham!” Jadi, dia hanya butuh guru untuk kasih tahu bagian mana yang salah, dan setelah itu, dia bisa berfikir sendiri (atau diskusi di dalam kelas) dan bisa tahu sendiri kenapa jawabannya adalah salah. Dan sesudah itu, kita perlu mencatat bahwa murid itu selalu salah di bagian tersebut, dan memberikan perhatian lebih kepadanya supaya dia bisa mendapatkan jawaban yang baik, benar dan lengkap pada ujian berikut.
Tetapi kalau di sini, belum tentu semua guru mau melakukan hal semacam itu. Di Australia, itu cara yang standar untuk memberikan ujian kepada siswa, dari SD sampai SMA. Dan diajarkan di dalam universitas biar semua guru menggunakan metode2 tersebut. Lebih baik murid dibimbing untuk berfikir tentang prosesnya, dan mencari kesalahannya sendiri, daripada sebatas diberitahu apa yang salah oleh guru (dan dapat nilai nol, padahal mungkin 90% dari jawabannya sudah benar). Bukannya murid bisa frustrasi kalau sudah benar 90% tetapi dapat nilai nol dari gurunya? Dan kalau dia frustrasi terus, seharusnya kita tidak heran kalau dia mau nyontek, karena semua usaha dia tidak dihargai, hanya jawaban yang benar yang dihargai = lebih baik nyontek karena memahami proses sepertinya tidak penting!
Jadi, kalau 100% dari siswa kita lulus dari Ujian Nasional, berarti kita telah berhasil untuk membunuh kreativitas mereka, telah mengajarkan mereka untuk berfikir sesuai dengan guru dan pemerintah, untuk selalu nurut dengan jawaban yang “benar”, dan tidak berbeda pendapat (walaupun mereka sanggup menciptakan argumentasi dan memberikan bukti2 untuk mendukung argumentasi tersebut).
Kenapa tidak ada anak Indonesia yang bisa berfikir secara independen dan kreatif untuk menyelesaikan masalah2 yang kita hadapi, dan setelah dewasa, hanya mau korupsi terus supaya cepat kaya? Jawabanya sederhana: karena dengan lulus dari Ujian Nasional, dan sekian banyak ujain sekolah yang juga mirip, mereka telah diajarkan bahwa selalu ada orang lain yang memiliki jawaban yang benar, dan kalau mau sukses, kita cukup mencari apa jawaban yang benar itu, dan nurut dengannya, dan tidak perlu berfikir lagi sesudah itu.
Dapat jawaban yang benar (dengan cara apa saja), itu yang penting. Berfikir sendiri tidak penting. Berfikir secara kreatif dengan menciptakan ide baru tidak penting. Memahami proses tidak penting. Itulah hasil dari sistem pendidikan kita, dan Ujian Nasional kita.
Seharusnya kita semua sedih kalau 100% persen dari murid kita lulus dari Ujian Nasional. Karena itu berarti kita telah berhasil 100% untuk membunuh kreativitas mereka dan berhasil menciptakan satu generasi lagi yang akan selalu berfikir “di dalam kotak” terus.
Ada orang di dunia ini yang menemukan atau menciptakan listrik, lampu, mobil, kereta api, pesawat, telfon, satelit, komputer, internet, tenaga nuklir, telfon dan handphone, DNA, bakteri, antibiotik, mesin cetak untuk mencetak buku, dan seterusnya.
Yang sama di antara mereka ada satu hal: tidak ada SATUPUN dari mereka yang lulus dari sistem pendidikan nasional Indonesia dan menjadi orang sukses yang berhasil mengubah atau memperbaiki dunia kita. Alangkah baiknya ada orang Indonesia yang berhasil masuk daftar tersebut, sebagai orang yang mengubah dunia bagi seluruh ummat manusia. Tetapi selama kita masih berpegang pada sisitem pendidikan yang ada, dengan Ujian Nasional yang ada sekarang, saya yakin sekali Indonesia tidak akan bisa menghasilkan orang tersebut.
Seharusnya kita sedih kalau 100% dari murid kita berhasil dipagari, dan otak mereka dibelenggu secara terpaksa oleh Ujian Nasional, ujian sekolah, dan sistem pendidikan kita.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar