Sabtu, 29 Mei 2010

UN 2010


Saat tulisan ini saya buat, isu Ujian Nasional (alias Unas, alias UN) kembali menghangat dibicarakan. Apalagi setelah kebijakan baru Mendiknas M. Nuh yang tidak mau "mengutak-utik" hasil nilai UN. Tersirat dari pernyataan ini bahwa di rezim sebelumnya nilai hasil UN "diutak-utik", wallahualam... Faktanya adalah nilai UN tahun 2010 turun cukup jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagai pribadi yang terlibat langsung dalam proses pendidikan termasuk UN, saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Press release atau pernyataan-pernyataan pejabat betul-betul dibuat hanya untuk konsumsi "menenangkan" publik, tidak menyentuh hal-hal dasar. Berikut ada tulisan menarik dari perspektif berbeda mengenai UN yang saya ambil dari milis Klub Guru Indonesia.



Semua Murid Lulus Ujian Nasional? Kenapa Menjadi Bahagia?

Assalamu'alaikum wr.wb.,

Di milis Klub Guru, ada seorang guru yang bersyukur bahwa semua murid di dalam sekolahnya telah lulus dari Ujian Nasional. Ini komentar saya. Semoga bermanfaat. - Gene

********

Seharusnya kita semua merasa sedih kalau 100% dari murid kita lulus Ujian Nasional!
Hasil itu menunjukkan bahwa 100% dari murid kita telah berhasil untuk nurut dengan guru, nurut dengan pemerintah, nurut dengan jawaban yang “benar”, tidak berani berfikir “di luar kotak”, tidak independen, tidak bisa kreatif dan tidak bersedia berbeda pendapat.

Itu hasil yang sebenarnya dari Ujian Nasional.

Saya ingat waktu belajar menjadi guru di Australia, salah satu dari pelajarannya adalah bagaimana caranya membuat ujian. Dan di dalam ujian itu, boleh saja ada bagian “pilihan ganda”. Tetapi jumlah pertanyaan minimal sekali, misalnya hanya 10-20 pertanyaan, dan nilainya mungkin cuma 10-20% dari total.

Kenapa masih dikasih bagian pilihan ganda? Karena itu bagian untuk anak yang tidak begitu pintar, untuk memastikan bahwa mereka tetap akan dapat nilai dasar. Diharapkan bahwa semua siswa, termasuk yang paling rendah, bisa melihat jawaban yang benar kalau ada di depan mata (karena tidak perlu berfikir terlalu dalam atau secara independen), dan bisa memilihnya walaupun secara umum mereka tidak begitu pintar.

Pertanyaan2 itu merupakan pertanyaan yang paling gampang di dalam ujian, dan tidak pernah ada lebih dari 4 jawaban (ABCD). Juga dijamin bahwa 2 jawaban kelihatan salah sekali (tidak mungkin benar), satu jawaban yang mirip dengan yang benar, dan hanya satu yang benar. (Saya ingat sekali ketika murid saya di Jakarta menunjukkan suatu ujian sekolahnya. Ada 5 jawaban, ABCDE, semuanya salah secara tata bahasa, dan pertanyaannya juga salah. Si guru bersikeras bahwa jawaban B adalah benar, murid saya lebih lancar dari gurunya, dan kena masalah karena jadi ribut dengan gurunya. Sebenarnya, tidak ada jawaban yang benar, dan pertanyaan juga tidak benar! Seharusnya tidak boleh begitu, apalagi gurunya ngotot dan marah setelah terbukti bersalah!).

Bagian pilihan ganda di dalam ujian diberikan supaya lebih mudah bagi siswa untuk dapat jawaban yang benar. Dan sebenarnya, itu hanya sebuah trik psikologis karena bagian itu, yang selalu merupakan bagian pertama, memberikan perasaan “bisa berhasil” kepada siswa, sebelum mereka menghadapi pertanyaan2 yang lebih sulit di bagian2 yang lain. Tujuannya agar murid semangat dan tidak langsung putus asa kalau seandainya melihat pertanyaan2 awal yang sangat sulit (jadi pertanyaan awal itu yang pilihan ganda selalu dibuat lebih mudah dari yang lain).

Sisa dari ujian menggunakan berbagai macam cara untuk menentukan kemampuan siswa, dan lebih tekankan kesempatan untuk jawab secara bebas (untuk semua mata pelajaran).

Ada bagian isi kalimat. Ada bagian menjawab pertanyaan (secara bebas) dengan satu-dua kata. Ada bagian menunjukkan apa yang benar dan salah dan jelaskan kenapa. Ada bagian menulis kalimat (penjelasan sendiri). Dan ada yang lebih panjang, seperti paragraf. Untuk sains, ada eksperimen yang harus dijalankan di dalam kelas, kemudian harus menulis proses dan hasil yang terjadi secara lengkap dengan analisis terhadapnya, dan sebagainya. Walaupun mungkin hasilnya salah, nilainya bisa tinggi kalau dia menjelaskan prosesnya secara benar, dan memberikan analisis yang jelaskan kenapa hasilnya tidak sesuai harapan. (Berarti dia sudah paham prosesnya secara benar. Dapat hasil yang benar adalah persoalan yang berbeda.)

Khusus untuk matematika, dikasih halaman kosong di dalam kertas ujian dan disuruh mengerjakan rumusan di situ, sehinga memeriksa rumusan yang dipakai menjadi bagian standar dari memeriksa ujian tersebut oleh guru. Guru mau lihat bagaimana murid mencapai hasil itu.

Kalau dalam satu rumusan matematika, ada 10 tahap yang harus ditulis, dan murid menulis 9 tahap secara benar, tetapi pada bagian ke-10 dia melakukan kesalahan, maka dalam ujian pilihan ganda (seperti yang umum di sini), jawaban menjadi salah dan nilainya nol.

Tetapi di sana, ditekankan kepada kami bahwa 9 tahap yang benar itu harus dihargai, dan dikasih nilai. Jadi, kalau untuk satu jawaban yang punya 10 tahap, dan 9 benar, dan nilai totalnya adalah 5 poin, maka murid itu bisa dapat hasil 4,0 – 4,5 poin, karena sebenarnya, mayoritas dari jawaban itu adalah benar.

Kenyataan bahwa hasil salah merupakan persoalan kecil, karena fungsi kita sebagai guru adalah untuk mengajarkan PROSES yang benar, sehingga akhirnya murid bisa kerjakan sendiri, dan dapat jawaban yang benar, tanpa perlu bantuan dari siapapun. Jadi, kalau 9 dari 10 tahap (dalam rumusan matematika) adalah benar, maka itu membuktikan bahwa peran kita sebagai guru sudah hampir berhasil, dan tinggal memberikan tambahan pelajaran sedikit kepada siswa itu, sehingga dia bisa melihat kesalahannya di mana, dan bisa belajar lagi untuk memperbaikinya.

Selanjutnya, kami hampir selalu kembalikan ujian itu kepada murid, supaya mereka bisa melihat sendiri masalahnya ada di mana. Dan semua kesalahan tidak langsung “diperbaiki” oleh guru, tetapi sebatas diberi tanda (seperti garis di bawah bagian yang salah, atau lingkaran). Dengan diskusi di dalam kelas, murid itu bisa melihat bagian mana yang salah, dan dia dipersilahkan untuk berfikir lagi tentang apa yang salah dan boleh diskusi sama teman sekelas.

Sebagai guru, sangat enak melihat muka murid ketika dia menjadi sadar sendiri masalahnya ada di mana. Ada ekspresi muka: “Ohhh, itu yang salah! Oke, paham, paham!” Jadi, dia hanya butuh guru untuk kasih tahu bagian mana yang salah, dan setelah itu, dia bisa berfikir sendiri (atau diskusi di dalam kelas) dan bisa tahu sendiri kenapa jawabannya adalah salah. Dan sesudah itu, kita perlu mencatat bahwa murid itu selalu salah di bagian tersebut, dan memberikan perhatian lebih kepadanya supaya dia bisa mendapatkan jawaban yang baik, benar dan lengkap pada ujian berikut.

Tetapi kalau di sini, belum tentu semua guru mau melakukan hal semacam itu. Di Australia, itu cara yang standar untuk memberikan ujian kepada siswa, dari SD sampai SMA. Dan diajarkan di dalam universitas biar semua guru menggunakan metode2 tersebut. Lebih baik murid dibimbing untuk berfikir tentang prosesnya, dan mencari kesalahannya sendiri, daripada sebatas diberitahu apa yang salah oleh guru (dan dapat nilai nol, padahal mungkin 90% dari jawabannya sudah benar). Bukannya murid bisa frustrasi kalau sudah benar 90% tetapi dapat nilai nol dari gurunya? Dan kalau dia frustrasi terus, seharusnya kita tidak heran kalau dia mau nyontek, karena semua usaha dia tidak dihargai, hanya jawaban yang benar yang dihargai = lebih baik nyontek karena memahami proses sepertinya tidak penting!

Jadi, kalau 100% dari siswa kita lulus dari Ujian Nasional, berarti kita telah berhasil untuk membunuh kreativitas mereka, telah mengajarkan mereka untuk berfikir sesuai dengan guru dan pemerintah, untuk selalu nurut dengan jawaban yang “benar”, dan tidak berbeda pendapat (walaupun mereka sanggup menciptakan argumentasi dan memberikan bukti2 untuk mendukung argumentasi tersebut).

Kenapa tidak ada anak Indonesia yang bisa berfikir secara independen dan kreatif untuk menyelesaikan masalah2 yang kita hadapi, dan setelah dewasa, hanya mau korupsi terus supaya cepat kaya? Jawabanya sederhana: karena dengan lulus dari Ujian Nasional, dan sekian banyak ujain sekolah yang juga mirip, mereka telah diajarkan bahwa selalu ada orang lain yang memiliki jawaban yang benar, dan kalau mau sukses, kita cukup mencari apa jawaban yang benar itu, dan nurut dengannya, dan tidak perlu berfikir lagi sesudah itu.

Dapat jawaban yang benar (dengan cara apa saja), itu yang penting. Berfikir sendiri tidak penting. Berfikir secara kreatif dengan menciptakan ide baru tidak penting. Memahami proses tidak penting. Itulah hasil dari sistem pendidikan kita, dan Ujian Nasional kita.

Seharusnya kita semua sedih kalau 100% persen dari murid kita lulus dari Ujian Nasional. Karena itu berarti kita telah berhasil 100% untuk membunuh kreativitas mereka dan berhasil menciptakan satu generasi lagi yang akan selalu berfikir “di dalam kotak” terus.

Ada orang di dunia ini yang menemukan atau menciptakan listrik, lampu, mobil, kereta api, pesawat, telfon, satelit, komputer, internet, tenaga nuklir, telfon dan handphone, DNA, bakteri, antibiotik, mesin cetak untuk mencetak buku, dan seterusnya.

Yang sama di antara mereka ada satu hal: tidak ada SATUPUN dari mereka yang lulus dari sistem pendidikan nasional Indonesia dan menjadi orang sukses yang berhasil mengubah atau memperbaiki dunia kita. Alangkah baiknya ada orang Indonesia yang berhasil masuk daftar tersebut, sebagai orang yang mengubah dunia bagi seluruh ummat manusia. Tetapi selama kita masih berpegang pada sisitem pendidikan yang ada, dengan Ujian Nasional yang ada sekarang, saya yakin sekali Indonesia tidak akan bisa menghasilkan orang tersebut.

Seharusnya kita sedih kalau 100% dari murid kita berhasil dipagari, dan otak mereka dibelenggu secara terpaksa oleh Ujian Nasional, ujian sekolah, dan sistem pendidikan kita.

Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene Netto

MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN


(Tugas Diskusi)  Kelompok IV  : Yusran, M. Hamzah Arfa, Sulaiman, Kusrani, Asran, Syamsuddin, Murningsih, dan Arifai
A.    Latar Belakang
Sebelum tahun 1980, multimedia digunakan untuk presentasi dalam menyajikan materi pelajaran.  Setelah tahun 1980, multimedia berkembang menjadi hypermediahypertextdigital melalui satu antarmuka (a single interface) yang menekankan pada menciptakan, menyimpan, menyajikan, mengakses kembali informasi teks, grafik, suara, video, animasi.
Pada saat ini, multimedia digunakan dalam penyajian pembelajaran melalui komputer dengan menggabungkan beberapa media.
Revolusi elektronik tidak dapat dipungkiri, menjadi salah satu penyebab berubahnya gaya dan pola hidup manusia dewasa ini. Komputerisasi, yang merupakan perwujudan visual dari operasional dunia digital mengalami perkembangan begitu pesat. Hitungannya tidak lagi dalam bilangan tahun, bulan atau hari, melainkan ‘detik !!!’. Ditemukannya rahasia operasional bilangan binner sehingga dapat menciptakan mesin hitung (kalkulator) dianggap sebagai cikal berkembangnya komputerisasi hingga saat ini..

Banyak sisi kehidupan manusia modern yang ‘dirampas’, baik dalam keadaan sukarela menyerahkannya, maupun secara terpaksa. Dalam dunia bisnis misalnya, ‘barcode’ merupakan barisan garis ajaib yang dapat di-scan untuk mengenal kartu kredit, identifikasi diri serta data transaksi.

Di dalam rumah, dengan komputer mungil yang dinamakan remote control, pengaturan suhu ruangan (AC), setting televisi, dan sejenisnya dapat dilakukan tanpa melakukan gerakan yang berlebihan. Daftar ini dapat diperpanjang dengan contoh lainnya, seperti dalam bidang kesehatan, dunia antariksa hingga dunia pendidikan. Teknik penyampaian pembelajaran-pun mengalami perubahan yang akhirnya dikenal dengan identitas ‘teknologi pembelajaran’.

B.    Pengertian Multimedia
1.    Menurut Barker dan Tucker (1990) multimedia adalah kumpulan dari berbagai media yang digunakan untuk presentasi.
2.    Hackbarth, Philips, Chapman dan Chapman mendefinisikan multimedia sebagai penyampaian informasi secara interaktif dan terintegrasi yang mencakup teks, gambar, suara, video, animasi.
3.    William Ditto (2006) menyatakan definisi multimedia dalam ilmu pengetahuan mencakup beberapa aspek yang saling bersinergi, antara teks, grafik, gambar statis, animasi, film dan suara.
Dari beberapa definisi  tersebut dapat ditarik kesimpulan multimedia pembelajaran penyampaian informasi secara interaktif dan terintegrasi yang mencakup teks, gambar, suara, video, animasi yang digunakan dalam proses pembelajaran, untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan yang belajar.
C.    Manfaat dan Fungsi Multimedia
Manfaat pembelajaran, yakni dengan multimedia maka pembelajaran akan berlangsung dengan baik, efektif, dan menyenangkan, karena dapat menarik minat dan perhatian siswa, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan kratifitas siswa terhadap pokok bahasan yang diajarkan.
Adapun fungsi multimedia dalam pembelajaran, antara lain:
1.    Alat bantu instruksional;
2.    Tutorial interaktif;
3.    Sumber petunjuk belajar; dan
4.    Pembuatan proyek.

D.   Identifikasi Permasalahan Pembelajaran Multimedia
1.    Keterbatasan Sarana & Prasarana
2.    Pemanfaatan multimedia pembelajaran belum maksimal
3.    Tenaga spesialis TIK Belum ada.

Khususnya di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, tiga permasalahan tersebut masih mewarnai dalam penerapan pembelajaran multimedia, khususnya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1.

E.    Upaya Pemecahan Masalah
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa penggunaan multimedia dalam pembelajaran menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Penelitian tersebut antara lain yang dilakukan oleh Francis M. Dwyer. Hasil penelitian ini antara lain menyebutkan bahwa setelah lebih dari tiga hari pada umumnya manusia dapat mengingat pesan yang disampaikan melalui tulisan sebesar 10 %, pesan audio 10 %, visual 30 % dan apabila ditambah dengan melakukan, maka akan mencapai 80 %. Berdasarkan hasil penelitian ini maka multimedia interaktif (user melakukan) dapat dikatakan sebagai media yang mempunyai potensi yang sangat besar dalam membantu proses pembelajaran.
Sarana dan prasarana yang memadai mutlak sangat diperlukan untuk pengimplementasian multimedia dalam pembelajaran. Multimedia yang diperlukan tidak harus dengan harga yang mahal. Hampir di setiap sekolah sudah mempunyai komputer, televisi, VCD/DVD player, tape recorder, radio, gambar, komik, dan lain-lain. Tersedianya sarana multimedia tersebut, tentu akan menambah nuansa  baru yang penuh interaktif, kreatif, inovatif, dan imajinatif dalam proses pembelajaran. 
.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya Tenaga Pengajar / Guru spesialis yang menguasai teknik penggunaan multimedia dalam pembelajaran dan program pendidikan dan pelatihan secara kontinyu.
Kontribusi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya, betul-betul sangat dibutuhkan untuk  memberikan bantuan dan upaya nyata ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan.

F.    Kesimpulan
Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di masa sekarang ini, penggunaan multimedia dalam pembelajaran adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru sebagai aktor penting harus mempunyai daya kreatifitas yang tinggi untuk mengembangkan dan menerapkan pembelajaran multimedia, agar pemahaman siswa terhadap pokok bahasan yang diajarkan lebih mendalam.
G. Referensi  :
1.
Judul
:
Multimedia Dalam Dunia Pendidikan

Pengarang
:

Sumber
:
http://ariasdimultimedia.wordpress.com
2.
Judul
:
Multimedia dalam Pembelajaran E-Learning


Pengarang
:
-

Sumber
:

3.
Judul
:
Pemanfaatan multimedia dalam pembelajaran di kela

Pengarang
:
Sudatha, I Gde Wawan. (2009

Sumber
:
http://www.undiksha.ac.id
4.
Judul
:
Antara E-Learning dan E-Training

Pengarang
:
-

Sumber
:
http://www.mizan.com

Senin, 17 Mei 2010

Kelulusan UN dan Fenomena Facebook



 
Jum'at, 30 April 2010 , 08:24:00
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei akan diperingati dengan menurunnya tingkat prestasi Ujian Nasional (UN) SMA/SMK/MA dari tahun sebelumnya. Tingkat kelulusan peserta UN di tingkat SLTA sederajat tahun ini mencapai 89,88 persen dari total 1.522.162 peserta. Berarti terjadi penurunan tingkat kelulusan hingga 3,86 persen dibanding tahun lalu yang sebesar 93,74 persen.

Dilihat dari rata-rata persentase ketidaklulusan, angka di Kaltim memang termasuk tinggi, yakni 30 persen. Bahkan menurut Mendiknas Muhammad Nuh, “sekolah sakit” tertinggi di Indonesia terdapat di Kaltim dengan 39 sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus. Kendati begitu, sejumlah provinsi memiliki tingkat kegagalan lebih tinggi. Misalnya, Kalimantan Tengah mempunyai angka ketidaklulusan 39 persen, Maluku Utara 41 persen, Nusa Tenggara Timur 52,8 persen, dan Gorontalo 53 persen.

Selanjutnya Mendiknas Muhammad Nuh menyebutkan sejumlah penyebab turunnya prestasi itu. Di antaranya, proses belajar-mengajar yang tidak maksimal, rendahnya kesadaran murid dan infrastruktur, serta sarana-prasarana yang kurang memadai.

Namun Anggota Komisi X DPR Hanif Dhakiri menilai, penurunan tingkat kelulusan UN tahun ini bisa disebabkan dua kemungkinan. Pertama, karena kinerja pengawasan pemerintah lebih baik dari sebelumnya, sehingga bisa berpengaruh terhadap turunnya angka kelulusan yang pada tahun sebelumnya diduga banyak diwarnai kecurangan.

Kemungkinan kedua, penurunan angka kelulusan UN disebabkan belum sesuainya materi UN dengan konteks pengajaran di sekolah. Berarti ada gap antara materi yang diujikan dengan materi yang diajarkan.

FENOMENA FACEBOOK

Bukan mau mencari ”kambing hitam”, tapi dengan semakin merajalelanya pengaruh jejaring sosial yang sekarang menjadi fenomena yaitu facebook, maka rendahnya kesadaran murid dalam menghadapi UN yang diungkapkan Mendiknas tersebut di atas, terutama yang terdapat di kota-kota besar tidak menutup kemungkinan salah satu penyebabnya adalah kecanduan dan keranjingan berfacebook-ria.

Facebook yang popular sejak tahun 2004, merupakan sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman lama, mantan pacar, keluarga jauh dan teman sekerja.

Program ini ditemukan Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out” Universitas Harvard Amerika Serikat. Kejeniusan dan kreativitas lewat facebook membuat anak muda ini menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008.

Saat ini hampir semua kenal yang namanya facebook, dari yang gaptek (gagap teknologi) hingga hi-tech.  Facebook paling populer di Indonesia dan merasuk dalam semua pikiran anak muda jaman sekarang. Pengguna facebook di Indonesia masih didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas yang memiliki akses internet (yang masih tergolong mahal di Indonesia). Kebanyakan mereka adalah pelajar, mahasiswa, dosen, pekerja, politisi serta beberapa tokoh-tokoh.

Berdasarkan data internal yang dimiliki lembaga Independen pusat operasional facebook, Palo Alto California, Amerika Serikat menyebutkan dari 235 juta masyarakat Indonesia, sekira 813.000 pengguna facebook, dan 61,1 persen usia 14 – 24 tahun (kelompok remaja).

Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan facebook. Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti facebook juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Akibatnya antara lain kurang sosialisasi dengan lingkungan, tidak perduli kondisi sekitar, berkurangnya keseriusan belajar dan banyak lagi dampak negatif lainnya.

Lebih jauh dengan mewabahnya jejaring sosial facebook di Indonesia ini menyulut kekhawatiran sekira 700 tokoh muslim di Surabaya, Jawa Timur untuk segera mengeluarkan fatwa terhadap facebook. Mereka menilai menjamurnya jejaring sosial tersebut dirasa akan memberikan dampak negatif bagi umat Muslim di Indonesia, dan dapat digunakan untuk transaksi seks terselubung serta kegiatan jahat lainnya.

Facebook ibarat sebilah pisau, jika digunakan juru masak ataupun penjual buah benda tersebut akan bermanfaat. Namun jika digunakan pihak yang ingin berbuat kejahatan, pisau pun menjadi benda berbahaya dan mengancam keselamatan orang lain. Jadi, tidak ada yang salah dengan facebook selama para user bisa menggunakan dengan mengedepankan norma dan etika

Akhirnya kita berharap semua pihak baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun para orangtua, harus lebih ekstra ketat mengawasi anak-anaknya saat menggunakan kecanggihan teknologi dan informasi seperti facebook salah satunya.

Sehingga dampak negatifnya bisa kita kurangi, dan kita arahkan penggunaannya kepada hal-hal positif seperti peningkatan prestasi belajar terutama pada saat menghadapi ujian nasional ulangan yang akan diselenggarakan pada tanggal 10 – 14 Mei 2010. (***)

*) Kepala PKP2A III Lembaga Administrasi Negara, Samarinda

Insentif Harus Cair Sebelum 21 Mei



 
Jum'at, 14 Mei 2010 , 09:41:00
TENGGARONG – Para guru PNS nonsertifikasi kini mengawasi Dinas Pendidikan (Disdik) Kutai Kartanegara (Kukar) yang berjanji mencairkan dana insentif guru itu maksimal sebelum 21 Mei mendatang. Pasalnya, ini merupakan kesepakatan akhir antara guru dan Disdik.

“Mereka berjanji mencairkan dana itu maksimal 10 hari setelah ini atau paling lambat pada 21 Mei mendatang. Kami akan memastikan mereka menepati janji itu, bila tidak, kami akan demo lagi,” ujar guru dari Kecamatan Kembang Janggut.

Perwakilan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kukar Jaka Wahyu Setiawan mengatakan, para guru berhasil diredam emosinya saat demo di Kantor Disdik Kukar Jalan Lais Tenggarong Selasa (11/5) lalu karena meyakini Disdik bisa  secepatnya mencairkan dana itu.

“PGRI memang berusaha menengahi masalah ini. Ternyata, para guru nonsertifikasi tak bisa lagi menunggu. Mereka sudah terlalu lama tertunggak haknya. Setelah dilakukan pertemuan tertutup dengan Disdik, akhirnya Disdik setuju memperjuangkan pencairan dana itu sebelum 21 Mei,” katanya.

Jaka mengimbau, tiap kepala sekolah harus melakukan verifikasi atau perhitungan ulang mengenai jumlah tenaga guru PNS nonsertifikasi yang bekerja. Pasalnya, saat ini ada perbedaan data di Disdik sehingga dipastikan pencairan dana insentif itu belum bisa mengakomodir semua guru nonsertifikasi. Karena data Disdik, jumlah guru nonsertifikasi sebanyak 5.287 orang. Bila dana insentif senilai Rp 12,9 miliar itu dibagi rata Rp 250 ribu per orang, maka hanya 9 bulan insentif yang terbayarkan.

“Ya mau bagaimana lagi, untuk sementara 3 bulan selanjutnya akan diajukan pada anggaran selanjutnya atau di APBD perubahan. Kami harap DPRD Kukar dan Pemkab satu pemahaman untuk memprioritaskan hal ini,” katanya.

Seperti diketahui, ratusan guru PNS nonsertifikasi kembali mendatangi Gedung Dinas Pendidikan (Disdik) Kutai Kartanegara (Kukar) Selasa (11/5) lalu. Mereka menuntut dana insentif senilai Rp 12,9 miliar segera dicairkan. Disdik awalnya menyebut akan mengusahakan pencairan pada bulan ini.

Ada tiga tuntutan para guru itu, yakni dana insentif Rp 250 ribu per orang yang harusnya cair sejak Desember 2009 lalu, dana tambahan penghasilan guru sebesar Rp 850 ribu dari Pemkab dan terakhir dana tambahan guru yang harusnya didapat Rp 300 ribu selama 6 bulan terakhir.(che)

Jumat, 14 Mei 2010

Salam Perkenalan

Assalamu alaikum, Wr, Wb. 
Saya Sulaiman, lahir di Desa Sedulang Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kaltim. Sekarang saya bertugas sebagai seorang guru SD dan juga dipercaya sebagai Kepala SMA Swasta di desa Sedulang, tempat kelahiran saya.
Saya alumni SDN 006 Muara Kaman (1982), SMP Negeri 5 Samarinda (1985), SPG Negeri Samarinda (1988), D2 PGSD UT (2003), S1 UNIKARTA (2006) dan sekarang sedang menempuh pendidikan S2 Program Studi Manajemen Pendidikan pada Universitas Mulawarman.
Blog ini saya buat dan saya dedikasikan untuk tugas-tugas kuliah serta tugas-tugas pokok saya sebagai seorang pendidik. 
Semoga hadirnya blog ini membawa kebaikan, amin.
Wassalam, Wr, Wb.

SULAIMAN